Penggunaan busana Gagrak Ngayogyakarta merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Gagrak Yogyakarta merupakan busana adat yang warisan dari Bumi Mataram. Hari peringatan jatuh pada Kamis Pahing, memperingati waktu perpindahan Pesanggrahan Sultan Hamengkubuwono I beserta keluarga dari Ambarketawang menuju Kraton Yogyakarta yang saat itu selesai dibangun. Setiap Kamis Pahing siswa serta guru dan karyawan di TK, SD, SMP, SMA, dan pekerja kantoran di Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan busana Gagrak ini. Pada 26 Januari 2023 yang bertepatan dengan hari Kamis Pahing, seluruh siswa, guru dan karyawan SMA Negeri 3 Yogyakarta mengenakan busana Gagrak Ngayogyakarta.
Dalam pemakaian Gagrak Ngayogyakarta, perlu diperhatikan tata cara yang benar. Dengan menggunakan komponen yang benar dan mengetahu filosofi dari setiap komponen tersebut, maka akan didapatkan pemahaman sehingga kebudayaan dapat melekat terhadap diri kita. Berikut merupakan komponen-komponen Gagrak Ngayogyakarta beserta filosofinya:
A. Busana Laki-laki
Mondol pada blangkon bagian belakang menggambarkan kondisi pada zaman dahulu di mana rakyat Yogyakarta memiliki rambut panjang yang sering digelung. Warna blangkon Yogyakarta dominan coklat, putih, dan hitam. Filosofi dari blangkon yakni “ikat” yang digunakan di kepala untuk mengingatkan ego manusia sehingga tidak ada rasa sombong.
Surjan yang sering digunakan oleh Siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta yaitu lurik. Motif lurik menggambarkan kesederhanaan. Surjan bermotif “kembangan” atau bunga, merupakan motif yang diperuntukkan untuk Raja. Namun pada zaman sekarang, motif kembangan dapat digunakan untuk masyarakat biasa asal tidak dipakai di dalam Kraton Yogyakarta. Surjan dari kata “Sirojan” yang berarti penerang. Filosofi dari surjan yakni manusia dapat menerangi sekitar dengan jalannya masing-masing.
Jarik merupakan singkatan dari “Aja Serik” yang berarti jangan iri. Kata lain dari jarik adalah Bebet (Krama lugu) dan Sinjang (Krama alus). Bebet diambil dari kata “Ubet” yang berarti sebagai manusia harus tanggap dengan keadaan sekitar. Dalam pemakaian jarik, terdapat lonthong (stagen).
Stagen dan sabuk digunakan untuk komponen jarik. Kedua komponen tersebut digunakan pada perut, filosofinya untuk meminimalisir atau mengendalikan nafsu manusia. Perut merupakan pusat nafsu dunia.
Timang merupakan hiasan yang digunakan pada stagen. Timang berasal dari kata “nimang” yang berarti menimbang. Filosofi dari timang adalah manusia diperigatkan untuk menimbang hal yang baik dan buruk, hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan.
Selop merupakan sepatu yang digunakan dalam busana Gagrak jogja. Selop dapat disebut dengan “Canela” dalam Bahasa Jawa, yang merupakan singkatan dari “canthelna jroning nala”. Ketika menggunakan selop, kita terhindar dari duri. Oleh karena itu, dengan menggunkan selop dapat diartikan sebagai penanda manusia harus memiliki landasan kehidupan yang baik. Landasan hidup yang dimaksud adalah agama masing-masing.
B. Busana Perempuan
Kebaya yang digunakan oleh perempuan dalam Gagrak Ngayogyakarta adalah kebaya Kartini atau dapat disebut tangkepan. Model tangkepan yakni model dengan dengan bagian dada menyatu, tanpa adanya kutu baru. Kebaya dapat diartikan “rasukan” yang merupakan Krama lugu dari “klambi” atau pakaian. Rasukan berasal dari kata “rasuk” yang berarti masuk. Filosofi dari kebaya ini yakni manusia diajarkan untuk memiliki atau masuk dalam salah satu agama yang digunakan sebagai landasan hidup.
Sama seperti busana Gagrak Ngayogyakarta pada laki-laki, perempuan juga menggunakan jarik. Jarik merupakan singkatan dari “Aja Serik” yang berarti jangan iri. Kata lain dari jarik adalah Bebet (Krama lugu) dan Sinjang (Krama alus). Bebet diambil dari kata “Ubet” yang berarti sebagai manusia harus tanggap dengan keadaan sekitar. Penggunaan jarik pada perempuan juga menggunakan stagen. Pola jarik yang harus dihindari dalam menggunakan jarik adalah pola parang, terutama parang barong dan parang soblok. Hal tersebut dikarenakan pola parang barong merupakan pola jarik untuk raja, sedangkan parang soblok digunakan untuk orang meninggal. Pola yang dapat digunakan masyarakat umum adalah kawung. Kawung memiliki filosofi yaitu mengajarkan manusia empat kiblat lima pancer, yaitu asal-usul manusia, dan melambangkan kesederhanaan.
Bagi perempuan yang tidak menggunakan jilbab, rambut dapat digelung. Untuk perempuan yang sudah menikah dapat ditambahkan dengan hiasan bunga. Sedangkan untuk perempuan yang belum menikah, gelung rambut tidak diberikan bunga.
Dengan penggunaan Gagrak Ngayogyakarta pada setiap hari Kamis Pahing dan momen tertentu, diharapkan dapat menjadi salah satu indikator untuk melestarikan budaya sehingga takkan punah oleh zaman.
Penulis: Nafisa Khoirun Widiasri, S.Si.
Editor: Restituta Devi Pramesti, S.Pd.
Tinggalkan Komentar